إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ
رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
"sesungguhnya besarnya balasan tergantung dari besarnya ujian, dan apabilaALLAH cinta kepada suatu kaum,Dia akan menguji mereka,barangsiapa redho,maka baginya keredhoan Allah,namun barangsiapa yang murka maka baginya kemurkaan Allah."
Hadits Hasan Gharib ini sampai ke Imam Tirmidzi melalui jalur Anas bin Malik. Dari Anas ke Sa’id bin Sinan. Dari Sa’id bin Sinan ke Yazid bin Abu Habib. Dari Yazid ke Al-Laits. Dari Al-Laits ke Qutaibah.
Perlu Kacamata Positif
Hidup tidak selamanya mudah. Tidak sedikit kita saksikan orang menghadapi kenyataan hidup penuh dengan kesulitan. Kepedihan. Dan, memang begitulah hidup anak manusia. Dalam posisi apa pun, di tempat mana pun, dan dalam waktu kapan pun tidak bisa mengelak dari kenyataan hidup yang pahit. Pahit karena himpitan ekonomi. Pahit karena suami/istri selingkuh. Pahit karena anak tidak soleh. Pahit karena sakit yang menahun. Pahit karena belum mendapat jodoh di usia yang sudah tidak muda lagi.
Sayang, tidak banyak orang memahami kegetiran itu dengan kacamata positif. Kegetiran selalu dipahami sebagai siksaan. Ketidaknyamanan hidup dimaknai sebagai buah dari kelemahan diri. Tak heran jika satu per satu jatuh pada keputus-asaan. Dan ketika semangat hidup meredup, banyak yang memilih lari dari kenyataan yang ada. Atau, bahkan mengacukan telunjuk ke langit sembari berkata, “Allah tidak adil!”
Begitulah kondisi jiwa manusia yang tengah gelisah dalam musibah. Panik. Merasa sakit dan pahit. Tentu seorang yang memiliki keimanan di dalam hatinya tidak akan berbuat seperti itu. Sebab, ia paham betul bahwa itulah konsekuensi hidup. Semua kegetiran yang terasa harus dihadapi dengan kesabaran. Bukan lari dari kenyataan. Sebab, ia tahu betul bahwa kegetiran hidup itu adalah cubaan dari Allah swt.
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155)
Hadits di atas menghabarkan bahwa begitulah cara Allah mencintai kita. Ia akan menguji kita. Ketika kita redha dengan semua kehendak Allah yang menimpa diri kita, Allah pun redha kepada kita. Bukankah itu obsesi tertinggi seorang muslim? Mardhotillah. Keredhaan Allah swt. sebagaimana yang telah didapat oleh para sahabat Rasulullah saw. Mereka redho kepada Allah dan Allah pun redho kepada mereka.
Yang Manis Terasa Lebih Manis
Kepahitan hidup yang dicubakan kepada kita sebenarnya hanya tiga bentuk, iaitu ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta. Orang yang memandang kepahitan hidup dengan kacamata positif, tentu akan mengambil banyak pelajaran. Cubaan yang dialaminya akan membuat otaknya berkerja lebih keras lagi dan usahanya menjadi makin gigih. Orang bilang, jika terdesak, kita biasanya lebih kreatif, lebih cerdas, lebih gigih, dan mampu melakukan sesuatu lebih dari biasanya.
Kehilangan, kegagalan, ketidakberdayaan memang pahit. Menyakitkan. Tidak menyenangkan. Tapi, justru saat tahu bahwa kehilangan itu tidak enak, kegagalan itu pahit, dan ketidakberdayaan itu tidak menyenangkan, kita akan merasakan bahwa kejayaan yang bisa diraih begitu manis. Cita-cita yang tercapai manisnya begitu manis. Yang manis terasa lebih manis. Saat itulah kita akan menjadi orang yang pandai bersyukur. Sebab, sekecil apa pun nikmat yang ada terkecap begitu manis.
Itulah salah satu rahsia dipergilirkannya roda kehidupan bagi diri kita. Sudah menjadi ketentuan Allah ada warna-warni kehidupan. Adakalanya seorang menatap hidup dengan senyum tapi di saat yang lain ia harus menangis.
“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada perang Badar) mendapat luka serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Ali ‘Imran: 140)
Begitulah kita diajarkan oleh Allah swt. untuk memahami semua rasa. Kita tidak akan mengenal erti bahagia kalau tidak pernah menderita. Kita tidak akan pernah tahu sesuatu itu manis karena tidak pernah merasakan pahit.
Ketika punya pengalaman merasakan manis-getirnya kehidupan, perasaan kita akan halus. Sensitif. Kita akan punya sempati yang tinggi terhadap orang-orang yang tengah dipergilirkan dalam situasi yang tidak enak. Ada keinginan untuk menolong. Itulah rasa cinta kepada sesama insan. Selain itu, kita juga akan bisa bergaul secara wajar saat bertemu dengan orang yang tengah bergembira menikmati manisnya madu kehidupan.
Bersama Kesukaran Selalu Ada Kemudahan
Hadits di atas juga berbicara tentang orang-orang yang salah dalam menyikapi Kesulitan hidup yang membelenggunya. Tidak sedikit orang yang menutup sakit sehatnya. Setiap kegetiran yang mendera seolah irisan pisau yang memotong syaraf berpikirnya. Kesengsaraan hidup dianggap sebagai kekal hidupnya yang tidak mungkin terhapuskan lagi. Anggapan inilah yang membuat siapa pun dia, tidak ingin berubah buat selama-lamanya.
Parahnya, perasaan tidak berdaya sangat menganggu stabiliti hati. Hati yang dalam kondisi jatuh di titik nadir, akan berdampat pada voltage getaran iman. Biasanya perasaan tidak berdaya membutuhkan pelampiasan. Dalam bentuk kemarahan dan berburuk sangka. Di hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi di atas, bukan hal yang mustahil seseorang akan berburuk sangka terhadap cubaan yang diberikan Allah swt. dan marah kepada Allah swt. “Allah tidak adil!” begitu gugatnya. Na’udzubillah! Orang yang seperti ini, ia bukan hanya tidak akan pernah beranjak dari kesulitan hidup, ia justeru tengah membuka pintu kekafiran bagi dirinya dan kemurkaan Allah swt.
Kerana itu, kita harus sensitif dengan orang-orang yang tengah mendapat cubaan. Harus ada jaring pengaman yang kita tebar agar kegelisahan mereka tidak sampai membuat mereka kafir. Mungkin seperti itu kita bisa memaknai hadits singkat Rasulullah saw. ini,
“Hampir saja kemiskinan berubah menjadi kekufuran.” (HR. Athabrani)
Tentu seorang mukmin sejati tidak akan tergoyahkan imannya meski cubaan datang bagai hujan badai yang menerpa batu karang. Sebab, seorang mukmin sejati berkeyakinan bahwa sesudah kesulitan ada kemudahan. Setelah hujan akan muncul pelangi. Itu janji Allah swt. yang diulang-ulang di dalam surat Alam Nasyrah ayat 5 dan 6,
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Dipetik dari: dakwatuna.com
di edit oleh: Robi'ah El-jawawi
subhanallah :)
ReplyDelete